Kamis, 11 Juni 2009

Perjuangan Rakyat Kota Medan

Tepat 1 April 2009, kota Medan persis berusia 100 tahun (seabad), sesuai dengan Ordonantie 1 April 1909 yang dimuat dalam Staatblad 1909 tentang berdirinya Gemeente Medan, sebagai kelanjutan Gemeentefonds, setelah dibubarkannya Afdelingraad van Deli. Pemerintah Belanda kemudian mengangkat D. Baron Mackay, mantan Walikota Enkhuisend di Belanda, sebagai Burgermeester van Medan. (Walikota Medan).

Dalam perkembangan berikutnya, Sultan Ma"amun Alrasjid Perkasa Alamsjah dengan Surat Notaris No.97, tanggal 10 November 1918, menyerahkan tanah miliknya ratusan ribu meter kepada Gemeente. Untuk pelaksanaan pemerintahan, kemudian dibentuk Gemeenteraad (Dewan Pemerintahan) terdiri dari 15 orang (12 orang Eropa, 2 Indonesia dan 1 orang asing).

Sebelumnya (tahun 1864) telah ada Kampoeng Medan dengan beberapa kampung di sekitarnya di bawah pemerintahan Sultan Mahmud Perkasa Alam yang bersinggasana di istana Labuhan Deli. Kampung-kampung tersebut terletak di pinggir Sungai Deli, di sebelah timur dari Urung Pertjut di tengah-tengah Urung Suka Piring. Pusat kampung terletak di kiri Sungai Petani (Deli). Sungai ini dapat dilayari dengan sampan, apalagi setelah bersatu dengan Sungai Babura dan menjadi tempat pemunggahan hasil bumi (sekarang Jalan Gatot Subroto).

Pembangunan kota Medan sangat diperlukan, karena di sekitarnya telah berdiri beberapa perusahaan (maskapai) perkebunan tembakau, diawali oleh izin Sultan Mahmud kepada J. Nienhuys membuka perkebunan tembakau (1886), diikuti pula oleh perusahaan lain, sehingga memerlukan asosiasi yakni DPV (Deli Planters Vereniging), selanjutnya lahir pula asosiasi perkebunan karet AVROS (Algemene Vereniging van Rubberplanters der Oostkust van Sumatra), sehingga memerlukan tempat untuk perkantoran yang strategis demi lancarnya perdagangan. Selama ini Kampoeng Medan dan kampung sekitarnya berada di bawah Keresidenan Riouw, beribukota Bengkalis. Keresidenan Sumatera Timur baru terbentuk tahun1780. Kampoeng Medan ditetapkan sebagai ibukota tahun 1886, setelah dibangunnya jalur kereta api oleh DSM (Deli Spoorweg Maatschapij) Kampoeng Medan-Belawan.

Setahun telah dibentuknya Gemeente van Medan, dapat diketahui jumlah penduduknya adalah 17.750 jiwa dan saat-saat berakhirnya pemerintahan Belanda (masuknya balatentara Jepang) 1942, penduduknya sudah mencapai 80.000 jiwa.

Mengantisipasi akan datangnya tentara Jepang, partai-partai politik, baik yang anti Belanda maupun antek Belanda yang sudah ada di Medan membentuk suatu koalisi dengan nama GAPPI (Gabungan Partai-partai Politik Indonesia), menuntut kepada pemerintah Belanda, agar diberi satu pemerintahan yang bertanggung jawab di Indonesia, bahkan sudah menyiapkan parlemennya.

Namun tuntutan itu sampai Jepang masuk 13 Maret 1942 tidak terlaksana, ada kesan Belanda memberi jalan bagi tentara Jepang untuk menguasai Medan.
Pada saat Jepang berkuasa, nama gemeente diganti 'Medan Shi' (Kota Medan) dan jabatan Burgemeester diganti 'Medan Shityo' (Walikota Medan) yang dijabat oleh Hayasaki. Aparat pemerintahan yang dipegang Belanda digantikan oleh bangsa Inonesia. Dengan demikian ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya 17 Agustus 1945, seminggu kemudian Loeat Siregar tampil sebagai Walikota Medan.

Setelah Jepang menyerah sebagai konsekuensi jatuhnya bom atom atas Hiroshima dan Nagasaki dan 14 Agustus 1945 Jepang resmi mengaku kalah, disusul usaha Belanda kembali ingin menguasai Indonesia, dengan 'menumpang' pada Tentara Sekutu (baca: Inggris), sesuai 'Cheques Agreement' antara Inggris-Belanda, meskipun Indonesia sudah merdeka, kota Medan yang sejak dikuasai Belanda dikenal sebagai kota perdagangan, berubah menjadi kota perjuangan, yang terkenal dengan Medan Areanya.

Proses kejuangan masyarakat Medan, terutama komunitas pemudanya, sudah terlukis ketika terjadi keterlambatan pengumuman berita Proklamasi 17 Agustus 1945, selain karena jaringan komunikasi antarpulau yang jelek, juga adanya sensor pemerintahan militer Jepang terhadap kantor berita 'Domei'. Sementara utusan Sumut (anggota PPKI/Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) ke Jakarta Mr. T. M. Hasan dan Dr. Amir, harus melalui jalan darat untuk kembali ke Medan dan harus singgah di beberapa kota sebelum sampai di Medan.

Deklarasi Kemerdekaan Indonesia secara resmi baru dapat dilaksanakan di Medan oleh T. M. Hasan pada 3 Oktober 1945, setelah menerima pengangkatannya sebagai Gubernur Sumatera secara resmi dari Presiden Soekarno, padahal secara gelap sejak 19 Agustus 1945, para pemuda sudah mengetahui tentang Proklamasi, yang dibocorkan seorang karyawan PTT Medan yang menerima berita dari PTT Jakarta. Tiga hari setelah diumumkan Proklamasi di Medan, diadakan apel Proklamasi di lapangan Fukuraido (lap. Merdeka sekarang) yang dihadiri ribuan massa rakyat.
'Benturan' antara komunitas pemuda yang dipelopori Ahmad Tahir (alm. Jenderal TNI Pur/mantan Menteri Perhubungan/Telekomunikasi), Jacub Lubis, Zein Hamid dan lainlain bersama tokoh pergerakan seperti Abdul Xarim MS, M. Saleh Umar, Jacob Siregar, Dr. Pirngadi dan banyak lagi, dengan kelompok moderat yang dikomandoi T.M. Hasan, terjadi karena lambatnya merespon Proklamasi.

Kaum muda mendesak, agar segera dideklarasikan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tetapi kelompok moderat T.M. Hasan dkk belum bersedia, karena merasa tidak punya hak dan dinilainya tidak punya landasan hukum, apalagi akan berhadapan dengan Jepang (meskipun sudah menyerah, tetapi ditetapkan Sekutu sebagai pengendali status quo), Sekutu dan Belanda yang akan masuk ke Sumatera Timur/Medan. Apalagi 22 Agustus 1945, pesawat terbang Sekutu telah menyebarkan pamflet, yang isinya; tentara Sekutu akan segera datang.

Dua hari sebelumnya Panglima Militer Jepang se-Sumatera Jenderal Moratake Tanabe, telah mengumumkan, bahwa semua pasukan pembantu tentara Jepang yang terdiri pemuda-pemuda Indonesia, seperti Gyugun, Heiho, Kaigun dan Tokubetsu mengumpulkan senjatanya dan diperintahkan kembali ke kampung halamannya masing-masing, karena perang sudah selesai.

Para mantan tentara Jepang inilah yang kemudian menjadi pelopor perlawanan terhadap pasukan Sekutu dan Belanda, dengan membentuk BPI (Barisan Pemuda Indonesia) yang tadinya bergerak di bidang sosial bagi para eks Gyugun, Heiho, Kaigun, Tokubetsu, tetapi kemudian terpanggil untuk mengikat persatuan dan berkorban demi mempertahakan Republik. BPI dipimpin oleh Soegondo Kartoprodjo (pemimpin Perguruan Taman Siswa) Ahmad Tahir (mantan perwira Gyugun), Abdul Malik Munir, Irawan Pandu, M.K. Djusni, Madji, Bahrum Djamil,Moralam Harahap, B.H. Hutadjulu, Abdul Razak, Hopman Sitompul, Amir Bahrum Nasution, Jacub Lubis, Aminuddin Nasir, Nip Xarim, Zain Hamid, Todung Sipahutar dan Abdullah Nasution.

Tindak lanjut dari dibentuknya BPI, 30 September 1945 di Markas BPI di Jalan Amplas (Gedung Taman Siswa) dilaksanakan rapat umum yang dihadiri sekitar 700 orang tokoh gerakan dan pemuda termasuk T.M. Hasan. Soegondo dan Tahir dalam orasinya menekankan, agar segera dideklarasikan Proklamasi 17 Agustus, tetapi T.M. Hasan tetap berkilah dengan dasar hukum 'belum waktunya' (masih menunggu pengangkatannya sebagai Gubernur Sumatera), sehingga ditentang oleh Abdul Xarim. Rapat tersebut tidak dapat memenuhi harapan pemuda, karena itu sesudah rapat para anggota BPI dari daerah-daerah rapat kembali dan memutuskan membentuk BPI di berbagai daerah dengan tujuan meningkatkan semangat juang kaum muda, selain mendeklarasikan Proklamasi kepada rakyat.
Selain BPI telah pula berdiri TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan lasykar rakyat (Napindo/Nasional Indonesia Pelopor), Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Hizbullah, Barisan Merah dan lain-lain, sehingga ketika pemerintahan Sumatera dibentuk yang dipimpin T.M. Hasan, komponen pemerintahan yang berpusat di Medan sudah dapat digolongkan komplit, khusus untuk pertahanan.

Eksponen tentara eks Jepang plus TKR dan lasykar inilah yang kemudian menjadi pelopor perlawanan fisik terhadap pasukan Sekutu dan Belanda/NICA (Nederlands Indies Civil Administration), yang berusaha menguasai kembali Indonesia. Bentrokan fisikpejuang dan Belanda diawali pada 12 Oktober 1945, saat pasukan Letnan Laut Brondgeest (lebih dulu mendarat di Medan dengan Kapten Westerling sebagai advance team untuk menyambut tentara Sekutu), bersama polisi Belanda dan KNIL yang tinggal di Asrama Pension Wilhelmina di Jalan Bali, menurunkan bendera merah-putih dari bebeapa kantor dan merobek-robeknya.

Kondisi Medan semakin panas, setelah seorang pemuda penjual pisang yang memakai topi berlencana merah-putih, dua hari kemudian lewat di depan Asrama Wilhelmina. Penjual pisang itu dipaksa turun dari sepedanya dengan todongan senjata api. Ketika penjual pisang dipukuli Belanda, para pemuda yang ada di sekitar itu, lalu menyerang tentara Belanda tersebut. Peristiwa pemukulan inilah yang memicu pertempuran para pemuda dengan tentara Belanda/KNIL yang kemudian terkenal dengan sebagai 'Peristiwa Jalan Bali'.

Pertempuran bahkan berkobar di beberapa kawasan, di antaranya Bedjo dengan pasukan selikurnya melakukan serangan terhadap gudang tentara Jepang di Pulau Brayan, lalu menyerang lagi ke Markas Tentara Belanda di Glugur Hong dan Helvetia.

Serangan para pemuda itu menyentak tentara Sekutu/Inggris, lalu Brigjen Ted Kelly, 18 Oktober 1945 mengeluarkan ultimatum, agar semua orang Indonesia tidak boleh memiliki senjata (termasuk senjata tajam) dan komandan Jepang dilarang menyerahkan senjatanya pada pemuda Indonesia. Rumah-rumah penduduk kemudian dirazia untuk menyita senjata.

Ultimatum Ted Kelly sama sekali tidak digubris pejuang, di berbagai tempat terjadi pertempuran, bahkan ada tentara Inggris hilang tak tentu rimbanya.

***
Sebagai kota perjuangan, saat ini bisa dibuktikan melalui 27 tatengger (diabadikan pada prasasti) yang terdapat di kota Medan, antara lain tatengger yang terdapat di Gedung Juang Jl. Pemuda 17, yang awalnya adalah Kantor BOMPA (Badan Oentoek Membantoe Perang Asia) yang dijadikan tempat rapat para pemuda untuk merealisasikan kemerdekaan di Sumut, diresmikan 28 November 1943.

Tatengger Fujidori, di jalan Fujidori 6 (asrama Seinen Renseisyo), tempat di mana diadakan rapat pertama merencanakan realisasi Proklamasi, dihadiri eks Gyugun, Heiho, Seinen Renseisyo,Seinen Zyukyu, Tokubetsu, Talapeta, Gerakan Anti Fasis dan lain-lain, tanggal 23 September 145, di bawah pimpinan Ahmad Tahir. Lokasi tatengger di Hotel Dirga Surya.

Tatengger Perguruan Taman Siswa, di Jalan Amplas, di temat ini 30 September 1945 diadakan rapat lanjutan dari Fujimori 6 dan berhasil dibentuk BPI (Barisan Pemoeda Indonesia) dengan Ketua Umum Ki Soegondo Kartoprodjo.
Tatengger Monumen Perjuangan Kemerdekaan/Fukuraido, di Lapangan Merdeka, di mana 4 Oktober 145 diadakan apel besar menyambut 17 Proklamasi 1945.

Tatengger Kantor Walikota Pertama, di Jalan Pemuda 15 (dh Jl. Istana), dijadikan kantor Walikota RI pertama Loeat Siregar, terhitung 4 Oktober 1945, karena Balai Kota masih diduduki Jepang.
Tatengger Markas Divisi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), di Jalan Thamrin No.75 D-E. Tempat dijadikan Markas Komando TKR Divisi IV Sumatera Timur, tgl 10 Oktober 1945, sebelum dipindahkan ke Pematang Siantar 14 April 1946, setelah kota Medan tidak aman. Komandan TKR Divisi IV adalah Kol. Ahmad Tahir dan Kastaf Letkol Soetjipto.
Tatengger Pertempuran Jalan Bali, 13 Oktober 1945, Markas NICA di gedung Pension Wilhelmina di Jalan Bali (sekarang Jl. Veteran), setelah tentara Belanda memukuli pemuda penjual pisang, karena memakai topi berlencana merah-putih. Dalam pertempuran 7 pemuda gugur, 7 orang NICA tewas dan 96 NICA ainnya luka-luka.

Tatengger Masjid Jamik Jalan Serdang, yang terletak di Jl.Serdang/Jl.Deli, 17 Oktober 1945 para pejuang Indonesia pimpinan Widji dan Zein Hamid bertahan dari serangan Inggris, berhasil merebut senjata pasukan Sekutu. Tiga hari kemudian tentara Inggris menyerang lagi, selanjutnya meledakkan mesjid, sehingga hancur. Setelah dibangun kembali namanya diganti menjadi Mesjid Perjuangan 1945, sekarang terletak di jalan Prof. H.M. Yamin.
Tatengger Jalan Mabar, tempat terjadinya pertempuran melawan tentara Inggris, 20 Oktober 1945, terletak di Jl.Mabar (depan pompa bensin). Dalam pertempuran 4 pemuda gugur.

Tatengger Gudang Senjata Jepang di Marindal, oleh lasykar Pesindo pimpian Nelson diserbu dan merampas ratusan pucuk senjata dan pelurunya padda 27 November 1945, lokasi Kantor Samsat Lantas/Dispenda.
Tatengger Restoran Termeulen, 6 Desember 1945, tentara Inggris menyerbu Markas TKR di restoran tersebut pada malam hari. Restoran terbakar, setelah para pejuang menyerang dengan granat botol, sehingga Inggris menguasai Termeulen. Lokasi sekarang; Kantor Bank Susila Bakti/Jl. Palang Merah No.6.

Masih banyak tatengger lainnya, sebagai bukti; bahwa kota Medan adalah Kota Perjuangan, seperti Tatengger Markas BPI/BKPI (Gedung FK-UISU Jl. Sisingamangaraja 2 A), tatengger Gugurnya Kapten Raden Soelian yang ditembak mati Belanda setelah tertangkap dalam pertempuran (Jl. Sumatera 20, Belawan), tatengger Kantor KNI Daerah Sumatera Timur (Kantor Inspektorat Sumut Jl. Sukamulia 13), tatengger Pertempuran Markas Pertempuran Medan Selatan Barat (Jl. Lapangan Golf Tuntungan), tatengger Titi AVROS, lokasi pertempruan pasukan TI pimpinan Letnan I Tampak Sebayang melawan NICA, 3 pejuang gugur, 2 ditahan termasuk Tampak Sebayang (letaknya di Kampung Baru), tatengger Mayor Martinus Lubis yang gugur dalam pertempuran merebut basis TKR di Simpang Limun (lokasi sekarang Taman Segitiga Jl. Sakti Lubis), tatengger Garis Demarkasi, merupakan titik garis demarkasi Meda Area, daerah pertahanan Napindo bersama TRI. (Jl. Djamin Gintings/Kampung Mangga) dan tatengger lainnya yang tersebar di seantero Medan.

***
Kita sengaja mengemukakan berbagai tatengger sebagai bukti perjalanan sejarah kota Medan dari kampoeng menjadi kota perdagangan, selanjutnya sebagai konsekuensi Proklamasi 17 Agustus 1945 jadi Kota Perjuangan. Lalu setelah kemerdekaan hampir 64 tahun, Medan berprospek sebagai kota yang akan berkembang terus, sehingga segera menjelma sebagai Kota Megapolitan dengan melibatkan Binjai dan Tanjung Morawa.

Namun harus diakui, tidak ada identitas khas yang pantas dipaterikan kepada Medan sekarang, karena kota ini tak terbendung bagaikan 'Kota Ruko"" atau Toko Kelontong' yang 'menjual' segala macam keperluan rumah tangga, sebagai efek dari modernisasi yang tak mungkin dapat dibendung. Ruko di mana-mana. Karena pelaksanaan Tata Ruang yang berdesakan dengan kepentingan individu/kelompok, bisnis, bahkan politik, bisa dirasakan betapa semrawutnya pembangunan fisik kota Medan. Kita tidak melihat lagi keindahan hakiki meronai kota Medan, apalagi dari sudut budaya.

Bayangkan, saat ini Medan adalah ibukota Prov. Sumut plus Pemkot Medan, sehingga merupakan pusat pemerintahan. dipadati berbagai kantor pemerintah, sehingga disebut Kota Pusat Pemerintahan. Dengan luas 265,10 km2 terdiri dari 21 kecamatan dan 151 kelurahan plus jumlah penduduk heterogen lebih dari 2 juta jiwa, pantas pula disebut Medan sebagai Kota Terpadat, dengan sekitar 7.585 orang/km, dibandingkan dengan kota-kota lainnya di Sumut, kecuali Sibolga (8.102 jiwa/km, luas 10,77 km2, penduduk 87.260 jiwa).

Gelar lainnya yang bisa diberikan pada Medan adalah Kota Pendidikan/Pelajar, karena jumlah SD, SMP dan SMU, serta Perguruan Tinggi bertumpuk di Medan, selain Kota Pengangguran, karena jumlah penduduk yang tidak bekerja mencapai sekitar 165.00 jiwa. Jumlah pegawai negeri di Medan, juga besar, jadi bisa digolongkan sebagai Kota PNS yang mencapai hampir 20.000 orang plus PNS Provsu.

Masih ada gelar lain yang bisa ditempelkan yakni Kota Macet, meskipun jalan-jalan di Medan mencapai panjang 3.035 km, namun jumlah mobilnya juga terbanyak 16.934, sehingga macetnya sudah bisa dirasakan oleh penghuni Medan. Yang menarik, Medan juga bisa masuk sebagai Kota Kawin-Cerai; tercatat di Pengadilan Agama sepanjang tahun 2004 yang menikah 1.046 dan cerai 12.166 (tertinggi di Sumut). Juga gelar Kota Anak-anak Terlantar bisa dianugerahkan pada Medan, karena angka anak-anak nakal memang tinggi dibandingan Kabupaten/Kota lainnya di Sumut. Bahkan juga Kota Korban Narkoba.

Kota Perdagangan juga pantas untuk Medan, sehingga jelas betapa malang-melintangnya kegiatan di dalam kota. Sulit untuk menentukan fokus proyek. Tak heran, bila ikon kota Medan meredup total, seperti terlihat di bidang olahraga. PSMS Medan tidak lagi menjadi idola. Cabang olahraga lainnya yang dulu didominasi seperti bola basket, renang, hoki, atletik sudah pudar, sehingga pameo 'Ini Medan, Bung' pun ikut lenyap. Identitas fisik yang tertinggal hanya Menara Air dan Masjid Raya.

Namun demikian kita pantas angkat topi pada pengelola kota Medan, karena tidak termasuk kota yang minus di sektor keuangan bahkan surplus, jika dilihat angka-angka penerimaan dan pengeluaran, seperti tercermin pembukuan di tahun 2004.

Oleh karena itu, meskipun sejak beberapa waktu lalu Medan tanpa walikota/wakil walikota, karena Abdillah dan Ramli harus mendekam di penjara, konsekuensi dari terlibat korupsi, namun penduduk Medan tidak perlu berkecil hati, karena pembangunan kota Medan yang berusia seabad itu tetap berjalan mulus.

Dalam merayakan seabad kota Medan ini, sewajarnya Pemkot, turun tangan mengembalikan Medan sebagai 'Kota Perjuangan'. Identifikasi sebagai Kota Perjuangan, sama sekali tidak terlihat, apalagi prasasti kejuangan sudah banyak yang jadi 'batu tak berarti'/tak terurus, padahal tatengger tersebut punya 'roh', yang dapat menggelegarkan semangat, jiwa dan nilai kejuangan Angkatan 45 bagi generasi penerus bangsa, sebagai modal untuk pembangunan bangsa dan Negara di berbagai bidang. Sepantasnya Pemkot Medan terpanggil untuk membangun patung atau monumen tentang keheroikan pejuang-pejuang mempertahankan kemerdekaan di beberapa tempat tertentu, di antaranya Lapangan Merdeka atau di Jalan Bali (Pertempuran Jl.Bali). DHD 45 Sumut perlu menggugah hal tersebut atau setidak-tidaknya sebagai tahap pertama membikin nama Ahmad Tahir sebagai salah satu jalan atau nama Jl. Amplas diganti jadi Jl. Soegondo Kartodiprodjo. Tindakan tersebut dapat 'menghidupkan' kembali nilai tatengger-tatengger tersebut sebagai sebagai fakta sejarah untuk membangkitkan kembali semangat, jiwa dan nilai kejuangan 45, yang saat ini mulai sirna.

Pengikut